Sabtu, 30 Agustus 2014

For My Father




Tulisan ini terinspirasi oleh salah seorang teman, bisa dibilang teman spesial yang semoga menjadi teman hidup selamanya di dunia maupun di akherat. Setiap kali bertemu, diskusi dengannya, tak lupa dia menceritakan tentang sosok seorang Ayah. Walaupun Ibunyapun tak lupa dia ceritakan. Menurutku, cerita sosok ibu tidak jauh berbeda dengan ibuku yang juga amat penyayang pada anaknya, apalagi mengingat aku anak tunggal, tak ada anak lagi selainku. Tapi berbeda dengan sosok Ayah. Mungkin karena sejak kecil, aku tidak tumbuh dengan bersama seorang Ayah. Ini yang membuat berbeda.
Ayah, tak pernah kujumpai bagaimana seorang ayah mendidik, bagaimana seorang ayah menyayangi anaknya, bagaimana seorang ayah mengkhawatirkan anaknya. Tidak pernah sama sekali. Aku selalu iri ketika melihatnya sms maupun telphone dengan ayahnya, iri sekali. Inginku memiliki ayah sepertinya. Sangat ingin sekali.

Berbicara tentang sosok seorang Ayah, aku menemukan tulisan ini dalam sebuah FB yang ditulis oleh kakak dari teman dekatku tadi, inilah tulisannya :


Bagi seseorang yang beranjak dewasa, yang sedang jauh dari orang tua, akan sering merasa rindu ibunya.
Bagaimana dengan ayah?

Mungkin karena ibu lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaan setiap hari. Tapi tahukah kamu, jika ternyata ayahlah yang mengingatkan ibu untuk meneleponmu?

Saat kecil, ibulah yang lebih sering mendongeng. Tapi tahukah kamu bahwa sepulang ayah bekerja dengan wajah lelah beliau selalu menanyakan apa yang kamu lakukan seharian.

Saat kamu sakit batuk/pilek, ayah kadang membentak “sudah dibilang! jangan minum es!”. Tapi tahukah kamu bahwa ayah khawatir?

Ketika kamu remaja, kamu menuntut untuk dapat ijin keluar malam. Ayah dengan tegas berkata “tidak boleh!” Sadarkah kamu bahwa ayah hanya ingin menjagamu? Karena bagi ayah, kamu adalah seseorang yang sangat berharga, melebihi apa pun.

Saat kamu bisa lebih dipercaya, ayahpun melonggarkan peraturannya. Kamu tetap akan memaksa untuk melanggar jam malamnya. Maka yang dilakukan ayah adalah menunggu semalaman di ruang tamu dengan sangat khawatir, tak terpikirkan baginya untuk tidur sedetik pun.

Ketika kamu dewasa,dan harus kuliah di kota lain. Ayah harus melepasmu. Tahukah kamu bahwa badan ayah terasa kaku untuk memelukmu? Dan ayah sangat ingin menangis.

Di saat kamu memerlukan ini-itu, untuk keperluan kuliahmu, ayah hanya mengernyitkan dahi. Tapi tanpa menolak, beliau memenuhinya.

Saat kamu wisuda. Ayah adalah orang pertama yang berdiri dan bertepuk tangan untukmu. Ayah akan tersenyum dan bangga. Sampai ketika teman pasanganmu datang untuk meminta izin mengambilmu dari ayah.

Ayah akan sangat berhati-hati dalam memberi izin. Dan akhirnya, saat ayah melihatmu duduk di pelaminan bersama seseorang yang dianggapnya pantas, matanya berkaca-kaca menahan haru, dan ia pun tersenyum bahagia.

Apa kamu tahu, bahwa ayah sempat pergi ke belakang dan menangis? ayah menangis karena ayah sangat bahagia. Dan ia pun berdoa “Ya Tuhan, tugasku telah selesai dengan baik. Bahagiakan. Putra/putri kecilku yang manis bersama pasangannya.”

Setelah itu ayah hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk dengan rambut yang memutih dan badan yang tak lagi kuat untuk menjagamu.

Selama hidupnya, ayah hanya memikirkan kebahagiaan kita sebagai anaknya, namun apakah kita pernah memikirkan kebahagiaan ayah kita?

Teruntuk,

Ayahku.
Pahlawanku.
Panutanku.


Ayah. Andaikan kau masih ada sekarang, aku akan sangat menyayangimu,
Lihat aku Ayah, lihat aku,,
Aku bisa seperti ini, bahkan aku mewarisi sedikit bakatmu...
Aku memiliki jiwa senimu.,,
Aku memiliki wajah yang mirip denganmu..
Datanglah Ayah!! Datanglah !!
Lihatlah anakmu ini !!
Semoga nanti kita akan bertemu di SurgaNya Allah SWT..